Kisah Bagus
Prolog
Untuk membuat hati kita lapang dan dalam, tidak cukup dengan membaca novel, membaca buku - buku, mendengar petuah, nasihat, atau ceramah. Para sufi dan orang - orang berbahagia didunia harus bekerja keras, membangun benteng, menjauh dari dunia, melatih hati siang dan malam. Hidup sederhana, apa adanya, adalah jalan tercepat untuk melatih hati ditengah riuh rendah kehidupan hari ini. Percayalah, memiliki hati yang lapang dan dalam adalah konkret dan menyenangkan, ketika kita bisa berdiri dengan seluruh kebahagiaan hidup, menatap kesibukan disekitar, dan melewati hari - hari berjalan, bersama keluarga tercinta.
Karakter Utama : Damo---o
silahkan dihayati...
Dalam suatu perjalanan jauh yang pernah Dam lakukan, Dam tiba diperkampungan para sufi. Sufi adalah orang - orang yang tidak mencintai dunia dan seisinya. Mereka lebih sibuk memikirkan hal lain. Memikirkan filsafat hidup, makna kehidupan, dan prinsip - prinsip hidup yang agung. Dam tahu, diantara banyak sufi, tidak semuayna mencapai pemahaman yang sempurna tentang kehidupan. Ada yang baru tertatih belajar tentang kenapa kita harus hidup. Ada yang sudah mencapai pemahaman apa tujuan dan makna hidup, ada pula yang telah berhasil melakukan perjalanan spiritual hingga memahami hakikat sejati kebahgiaan hidup.
Itu pertanyaan penting Dam. Apa hakikat sejati kebahagiaan hidup? Apa definisi kebahagiaan? Kenapa tiba - tiba kita merasa senang dengan sebuah hadiah, kabar baik, atau keberuntungan? Mengapa kita tiba - tiba sebaliknya merasa sedih dengan sebuah kejadian, kehilangan, atau sekedar kabar buruk? Kenapa hidup kita seperti dikendalikan sebuah benda yang disebut hati? Tidak ada diantara sekelompok sufi itu yang bisa memberikan penjelasan memuaskan. Mereka menggeleng, hingga akhirnya salah seorang dari mereka menyarankan Dam berangkat kesalah satu lereng gunung. Disana tinggal salah satu sufi besar, ribuan muridnya, bijak orangnya, boleh jadi dia tahu jawabannya. Dam bergegas mengemas ransel, berangkat siang itu juga.
Dam menemui sang Guru. Dia menerima Dam dengan ramah, memberi Dam kesempatan bertanya. Pertanyaan Dam hanya satu. Apa hakikat sejati kebahagiaan hidup? Dengan memahaminya seluruh kesedihan akan menguap seperti embun terkena sinar matahari. Dengan memilikinya, setiap hari kita bisa menghela nafas bahagia. Sang guru terdiam lama, menggeleng, berkata bahwa Dam memberikan pertanyaan yang dia tidak tahu, tidak ada orang didunia yang bisa menjawabnya. Dam mendesah kecewa, ke mana lagi harus mencari tahu. Sang Guru menatap Dam lamat – lamat, berpikir sejenak. Seberapa tangguh Dam berusaha mencari tahu? Dam berkata mantap, apapun akan dia lakukan
.
Sang Guru tersenyum. Dia memberikan pekerjaan
teraneh yang pernah Dam tahu. Seratus mil dari lereng gunung tempat dia bermukim
terdapat tanah luas ditepi hutan. Ada perkampungan dekat hutan itu. Perkampungan
itu butuh sumber mata air berupa danau. Sang Guru menyuruh Dam membuatkan danau
ditanah luas itu. Benar – benar sebuah danau, dan itu bukan pekerjaan mudah.
Sang Guru bilang ‘Ketika kau berhasil membuat
danau yang indah dan jernih bagai air mata, kau akan mendapat jawaban hakikat
sejati kebahagiaan. Berangkatlah, setahun kemudian aku akan datang. Aku akan
melihat apakah danau itu sudah sebening air mata’
Walau tidak punya ide apapun soal danau itu,
Dam mengangguk mantap. Dam sudah menduga, definisi kebahagiaan sejati seharga
pengorbanan besar. Itu pencapaian paling tinggi seorang sufi, dan sepertinya
tidak bisa diperoleh hanya dengan membaca buku atau bertanya. Dam berangkat,
memulai pekerjaan besar itu, membuat danau yang cukup untuk satu kampung.
Tidak terbilang tanah yang harus Dam pindahkan.
Berkubang licak setiap hari, mulai bekerja saat matahari terbit, baru berhenti
ketika matahari tenggelam. Dam baru berhenti saat galian itu memiliki kedalaman tiga meter,
luasnya sebesar lapangan bola. Dam baru separuh selesai.Dam kemudian membuat parit -parit dari mata air yang ada dihutan, mengalirkannya ke lubang danau. Setahun berlalu, danau itu jadi. Dam tersenyum senang. Tidak lama lagi jawaban pertanyaan itu akan datang. Lihatlah, danau yang Dam buat sebening air mata.
Sesuai janji, sang Guru datang menjenguk Dam pada hari yang ditentukan. Sialnya, malam sebelum dia datang, hujan turun. Sumber mata air di hutan menjadi kotor. Dam yang semangat mengajak sang Guru ke tepi danau mendesah kecewa. Lihat, danau yang Dam buat jauh dari bening, berubah keruh. Sang Guru menepuk bahu Dam. Sang guru berkata, Dam tidak boleh putus asa. Tahun depan sang Guru akan kembali.
Setelah memikirkan jalan keluarnya, Dam memutuskan membuat saringan di setiap parit, agar air keruh dan kotor dari mata air ketika hujan turun tetap bening saat tiba didanau. Dam mengerjakannya dengan senang hati. Ide ini akan berhasil. Dam juga memperbaiki seluruh parit yang bermuara ke danau, memastikan tidak ada sumbernya yang bermasalah. Sedikit saja ada air keruh masuk, danau sekristal air mata langsung tercemar.
Setahun berlalu lagi, sang Guru datang menjenguk Dam. Lihat, danau buatan Dam indah tiada terkira. Pantulan dedaunan diatas danau seperti nyata. Dam tersenum, menunggu jawaban atas pertanyaannya. Sang Guru menggeleng. Dia meraih sepotong bambu panjang, lantas menusuk - nusuk dasar danau. Dam berseru, mencegahnya. Itu akan membuat air danau keruh. Benar saja, lanati danau yang terbuat dari tanah langsung mengeluarkan kepul lumpur kecoklatan. Dalam sekejap, danau bening itu musnah. Sang Guru menepuk - nepuk bahu Dam lalu berkata. 'Kau pikirkan lagi, tahun depan aku akan kembali.'
Dam merasa seperti dipermainkan. Apalagi yang kurang dari
danaunya? Dua tahun sia – sia. Baiklah, Dam tahu apa yang harus ia kerjakan.
Dam memutuskan menggali danau sedalam mungkin hingga menyentuh dasar bebatuan,
menyentuh mata airnya. Setahun berlalu, Dam masih berkutat menyingkirkan tanah –
tanah, kedalaman danau sudah sepuluh meter. Sang Guru datang, melihat dengan
takzim Dam yang sibuk bekerja. Dua tahun berlalu, Dam masih berkutat mengeduk
tanah. Tiga tahun berlalu, akhirnya Dam berhasil menyentuh dasar bebatuan. Air
keluar deras dari sela – sela batunya. Dam tertawa senang. Semua parit Dam
tutup. Danau itu sempurna hanya digenangi air dari mata airnya sendiri.
Guru datang pada hari yang dijanjikan. Dia tertawa renyah melihat
danau bagai kristal air mata. Tetap bening meski ada yang menusuk – nusuk dasarnya,
tetap dengan cepat kembali bening meski ada air dari parit yang bocor dan
sejenak membuat keruh. Sang Guru menatap Dam, bertanya apakah Dam masih butuh
penjelesan atas pertanyaan itu. Dam menggeleng. Hari itu, Dam sudah tahu
jawabannya. Setelah lima tahun bekerja keras hanya untuk memahami sebuah
kebijaksanaan hidup sederhana, Dam tahu jawabannya
Itulah hakikat sejati kebahagiaan hidup. Hakikat itu berasal
dari hati kita sendiri. Bagaimana kita membersihkan dan melapangkan hati, bertahun
–tahun berlatih, bertahun – tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih
dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari
kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan,
harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang
dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan.
Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua juga
datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kita dangkal, hati kita
seketika keruh berkepanjangan.
Berbeda halnya jika kita punya mata air sendiri dalam hati.
Mata air dalam hati itu konkret. Amat terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh
kita mendapat kesenangan, keberuntungan, kita bisa ikut senang atas kabar baiknya,
ikut berbahagia, karena hati kita lapang dan dalam. Sementara orang – orang yang
hatinya dangkal, sempit, tidak terlatih, bahkan ketika sahabat baiknya mendapat
nasib baik, dia dengan segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut
senang.
Itulah hakikat sejati kebahagiaan. Ketika kita bisa membuat
hati bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnay
tidak mudah, kita harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana dan apa
adanya. Kita harus kerja keras, sungguh – sungguh, dan atas pilihan sendiri
memaksa hati kita berlatih
-SEKIAN-
Gimana? Semoga bermanfaat, dan semoga kita semakin istiqamah
untuk menjadi manusia yang baik ^_^
Wallahu a’lam bishawaf
Cerita ini diambil dari salah satu novel karya : Tere Liye dengan judul Ayahku bukan
pembohong
Comments